Minggu, 26 April 2009

Manajemen Waktu


Kehidupan manusia selama dia hidup memiliki keterbatasan. Usia manusia semenjak kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa, dibatasi hanya 70-80 tahun saja. Hal inipun harus dilalui dengan penderitaan. "Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaannya; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap" (Mazmur 90:10). Mengingat waktu yang sangat singkat ini, diperlukan hikmat sehingga dapat mempergunakan waktu yang ada dengan lebih efisien dan lebih efektif lagi. "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana" (Mazmur 90:12).

Sebuah pepatah mengatakan "orang sukses selalu kelebihan satu cara, orang gagal selalu kelebihan satu alasan". Apabila kita mau berhasil dalam hidup ini, maka tentunya harus memiliki kelebihan satu cara untuk mencapai keberhasilan tersebut. Oleh karena itu kita harus memanfaatkan waktu tersebut dengan baik, dengan cara:

Pertama, menetapkan tujuan hidup. Setiap orang yang tidak punya tujuan dalam hidupnya, maka kehidupan orang tersebut akan hancur berantakan. Ibarat sebuah kapal di tengah gelombang lautan. Dia akan terus diombang-ambingkan ke sana ke mari oleh ombak yang besar. Sampai pada akhirnya bila tidak juga berjalan untuk mencapai suatu tempat yang dituju, maka kapal tersebut akan tenggelam. Oleh karena itu, penting sekali untuk memiliki tujuan hidup. Orang yang punya tujuan dalam hidupnya akan menjalani hari-harinya dengan sukacita dan terus maju menuju pada apa yang direncanakan sebelumnya.

Untuk menetapkan tujuan hidup kita perlu membuat perencanaan baik jangka panjang maupun jangka pendek. Hidup kita mau menjadi apa 2-5 tahun mendatang, ditentukan sikap kita dalam menjalani hari ini. Oleh karena itu disarankan untuk memiliki agenda pribadi, untuk mencatat semua rencana yang akan dikerjakan selama 1 tahun dan mengevaluasi terhadap pekerjaan apa saja yang sudah dikerjakan tetapi belum maksimal. "Evaluasi berarti menguji kembali semua yang telah dilakukan, sekaligus membuat antisipasi terhadap apa yang mungkin terjadi" (Jakoep Ezra). Adakah progres dari tahun ini dibandingkan tahun yang lalu.

Kedua, mengembangkan talenta secara maksimal. Dalam mengisi hari-hari yang masih Tuhan percayakan kepada kita, tentunya kitapun harus berbuat aktif. Alkitab mencatat bahwa setiap kita diberi oleh Tuhan talenta (bakat atau kemampuan khusus). Memang talenta setiap orang berbeda-beda, ada yang diberi lima, tiga dan satu talenta. Masing-masing diberikan jumlah talenta yang berbeda-beda menurut kesanggupannya (Matius 25:15). Suatu kali nanti kita harus mempertanggungjawabkan talenta yang sudah Tuhan percayakan kepada kita untuk dikembalikan kepada-Nya. Apabila kita bertanggungjawab dalam mengembangkannya, maka Tuhan pun akan mempercayakan kepada kita hal yang lebih besar lagi. Sebab diperlukan kesetiaan dalam mengelolanya, sekalipun hanya perkara kecil (Matius 25:23).

Ada banyak cara untuk mengembangkan talenta secara maksimal, di antaranya: Melanjutkan studi sampai jenjang S2 atau S3. Bila ada kesempatan, mengapa tidak sampai mencapai gelar doktor? Biarlah kita memberikan yang terbaik bagi kemuliaan nama Tuhan Yesus; Mengikuti berbagai diklat dan seminar. Tujuannya agar kemampuan dan keahlian semakin bertambah; Sharing hidup dari para senior untuk mendapatkan pengalaman hidup mereka yang sudah berhasil; Bila Tuhan memberikan karunia kepada kita untuk menulis, maka buatlah sebuah buku sebagai suatu karya yang terbaik untuk memberitakan Injil dan menyaksikan cinta kasih Tuhan kepada semua orang. Hal yang patut diperhatikan adalah jangan batasi diri kita untuk berkembang. Biarlah kita berkembang dampai mencapai titik maksimal dalam hidup kita.

Ketiga, hidup mengandalkan Tuhan, bukan kekuatan sendiri. Yeremia 17:5 dituliskan "terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh daripada Tuhan!" Kita melihat kehidupan dari para tokoh dalam Alkitab yang hidupnya berakhir dengan tragis karena mereka hanya mengandalkan kepada kekuatannya sendiri. Misalnya Simson (Hakim-hakim 13-16). Di awal sampai pertengah hidupnya dia terkenal sebagai seorang pahlawan yang bisa mengalahkan orang Midian. Namun sayang, karena dia lebih memilih mengikuti keinginan dagingnya dan hidup hanya mengandalkan pada kekuatannya sendiri, akhir dari hidupnya sangat menyedihkan. Dia mati sebagai tawanan dengan kedua belah matanya buta.

Berbeda dengan kisah hidup Yusuf. Selama hidupnya, Yusuf senantiasa mengandalkan Tuhan. Ketika dia menjadi budak di rumah Potifar, Tuhan menyertainya(Kejadian 39:2). Bahkan ketika dia berada di dalam penjara di Mesir, Tuhan pun tetap beserta dengannya (Kejadian 39:21). Sampai pada akhirnya dia diangkat menjadi orang nomor 2 di Mesir. Akhir hidup Yusuf berakhir dengan bahagia.

Dalam menjalani hari-hari yang masih Tuhan percayakan bagi kita, kita harus memakainya untuk kemuliaan nama Tuhan saja. Efesus 5:15-17 katakan bahwa kita tidak boleh bertindak seperti orang bodoh. Melainkan hidup dengan bijaksana mempergunakan waktu yang ada untuk mengerti kehendak Tuhan. (Pdp. Tony Tedjo, M.Th adalah Ketua Sekolah Menulis Alkitabiah (SOW) dan penulis buku. Dapat dihubungi di 081394401799 atau penerbitagape@gmail.com)

Selasa, 21 April 2009

7 MANFAAT BLOG BAGI PENULIS


Belakangan ini, saya lumayan gencar mendorong sahabat-sahabat penulis maupun siapa saja yang sedang belajar mengembangkan kemampuan menulis untuk membuat weblog atau blog. Saking bersemangatnya, sampai ada rekan yang berseloroh, “Wah, bikin blog-nya aja belum genap sebulan. Tapi, cara ngomporinnya udah semangat 45!” Diledek begini saya langsung ngeles (berkilah), “Lho, nge-blog-nya di Ezonwriting.wordpress.com boleh baru. Tapi, nulis di media media online kan udah dari dulu?” Dan, rekan ini cuma bilang, “Ya, whatever-lah...!”

Kali ini, saya ingin menekankan kembali betapa media blog ini punya banyak manfaat bagi penulis, atau siapa saja yang sedang belajar menulis. Bagi saya, blog sebenarnya punya karakteristik yang hampir sama dengan website biasa seperti Pembelajar.com atau beragam website lainnya. Bedanya hanya sedikit, yaitu pada kemudahan pembuatannya, pengelolaannya, template yang tersedia, serta sifat gratisan namun dengan menu-menu pendukung yang berlimpah.

Saya tidak akan bahas hal teknis soal beda website biasa dengan blog di sini karena memang bukan kompetensi saya. Yang ingin saya garis bawahi adalah bahwa siapa pun sekarang bisa memiliki blog dengan tampilan profesional (layaknya website biasa yang cantik) secara gratis dan mudah. Nah, blog ini ibarat rumah kita di dunia maya yang bisa didandani dan dimodifikasi sedemikian rupa, serta dimanfaatkan sesuai kebutuhan kita. Dalam konteks tulisan ini, kita akan ulas manfaat blog dari segi kepenulisan.

Baik, dari pengamatan saya, ada sejumlah manfaat blog bagi penulis atau siapa pun yang sedang mengembangkan kemampuan menulisnya. Berikut di antaranya.

Pertama, blog menjadi sarana publikasi tulisan yang termudah sekaligus strategis. Kita sudah pada tahu, salah satu masalah utama yang dialami kebanyakan penulis—terlebih lagi penulis pemula—adalah soal wadah publikasi. Media massa umum seperti koran, tabloid, majalah, jurnal, sering kali terbatas ruangnya dan mematok standar kualitas tulisan tertentu. Setiap hari, ribuan tulisan masuk ke meja redaksi berbagai media massa, tapi hanya sedikit saja yang bisa dimuat.

Nah, selain sejumlah website yang menerima kontribusi tulisan dari luar, blog bisa jadi solusi bagi tulisan-tulisan yang tidak tertampung itu. Manakala tulisan ditampilkan di blog, aslinya tulisan itu sudah punya “nyawa” dan mendatangkan pengaruh. Hanya tulisan yang dipublikasikan saja yang punya nyawa dan pengaruh kepada pembacanya. Blog bisa menjadi alat untuk menghidupkan tulisan kita.

Lalu, apa strategisnya memublikasikan tulisan di blog? Nilai strategisnya sedikit berbeda dengan media offline macam surat kabar. Tulisan yang dimuat di surat kabar belum tentu bisa diakses melalui internet, kalau surat kabar tersebut tidak online. Tulisan di blog jelas online, dan pada tingkatan tertentu, tulisan tersebut mudah diakses melalui search engine. Jejak di search engine inilah yang punya nilai startegis. Kedua, tulisan di blog mudah sekali dikomentari dan feedback ini banyak manfaatnya. Asal menu komentar tidak ditutup, maka siapa pun yang membaca tulisan kita bisa berkomentar apa saja di sana. Memang, untuk blog yang aktif serta sering dikunjungi, komentar mudah sekali didapat dan jumlahnya bisa banyak sekali. Sementara, blog yang kurang aktif, jarang ditaut (di-link), dan jarang dikunjungi biasanya juga tidak banyak komentarnya.

Banyak orang belum sepenuhnya aware dengan peran komentar atau feedback tulisan ini. Bagi penulis, komentar atas tulisan sungguh merupakan alat uji bagi tulisan itu sendiri. Positif atau negatif komentarnya, itu semua bisa menjadi bahan perbaikan tulisan atau bagian dari proses pembelajaran penulisnya. Bahkan, banyak sekali ide-ide baru yang bisa dielaborasi dan dieksplorasi dari lalu lintas komentar tersebut.

Ketiga, blog bisa menjadi alat penumbuh kebiasaan dan keteraturan menulis. Bagaimanapun, setelah punya blog biasanya kita akan terdorong untuk terus mengisinya dengan berbagai bentuk tulisan. Terlebih bila tulisan-tulisan kita mendapatkan sambutan atau aneka komentar dari para pengunjung. Ini akan memotivasi kita untuk rajin mem-posting tulisan. Bagi mereka yang sedang belajar menulis, komentar atau tanggapan blogger (penulis blog) lain ini akan sangat besar artinya.

Khusus untuk para blogger yang sudah memiliki jaringan luas serta setiap tulisannnya dinantikan, pastilah ada semacam dorongan untuk terus mengisi blog-nya. Tulisan-tulisan terbaru para blogger yang sudah cukup bergaung namanya atau terkenal biasanya juga selalu dinantikan. Bila mereka mulai mengendor atau jarang meng-update blog, pasti ada keluhan dari para pengunjung setia. Jika ini keterusan, pengunjung bisa menurun dan akan kurang menguntungkan si blogger.

Keempat, menulis di blog secara rutin juga berdampak pada kemampuan kita dalam menuangkan gagasan. Makin sering menulis di blog, rasanya akan semakin mudah pula mengeluarkan ide-ide dalam bentuk tulisan. Ini sama persis dengan kegiatan menulis diari sehari-hari. Semakin sering kita mengisi diari, semakin mudah dan lancar pula kita menulis.

Kelima, blog bisa menjadi ajang ekspresi yang bebas hambatan sama sekali. Ini memungkinkan tulisan-tulisan yang dalam kacamata umum mungkin dianggap kurang pantas, terlalu absurd, atau melanggar aturan-aturan tertentu, di blog malah mendapatkan saluran seluas-luasnya. Blog bisa menjadi saluran gagasan-gagasan alternatif, bahkan yang paling ekstrim sekalipun. Ini yang tidak mungkin diwadahi oleh media konvensional.

Sifat blog yang bisa diisi oleh siapa pun, dengan jenis tulisan apa pun, serta dengan segala tingkatan kemampuan menulis, membuatnya menjadi ajang ekspresi intelektual yang sangat konstruktif. Sumirnya batas-batas tersebut (karena penulis sendirilah yang menetapkan batasannya) bisa merangsang blogger menuliskan apa saja serta menambahkan keberanian dalam berekspresi. Nah, sisi keberanian berekspresi inilah yang bisa mendongkrak kemampuan menulis seseorang.

Keenam, blog adalah tempat kita untuk menabung tulisan. Satu demi satu kita isi blog dengan beragam tulisan, maka lama kelamaan blog kita akan penuh juga. Bagus sekali bila mayoritas tulisan yang kita tampilkan di blog adalah karya sendiri. Terlebih bila blog memang kita jadikan sebagai sarana untuk berlatih menulis dan menampung tulisan-tulisan karya sendiri.

Pada saatnya nanti, tulisan-tulisan di blog bisa kita oleh menjadi karya lainnya, buku misalnya. Kalau tulisan sudah terkumpul dan temanya memiliki benang merah tertentu, serta dari sisi kualitas memang memenuhi syarat untuk dibukukan, mengapa tidak dibukukan? Potensi inilah yang tampaknya belum banyak dilirik oleh para blogger. Saya termasuk yang sedang mendorong-dorong para blogger supaya ngeh dengan potensi blog untuk dibukukan.

Ketujuh, blog bisa berfungsi sebagai media personal branding. Blog bisa menjadi ajang unjuk ide, pikiran, karya, tulisan, serta pencitraan. Lima tahun yang lalu mungkin Anda tidak mengenal siapa itu Enda Nasution, Priyadi, Fatih Syuhud, Jennie S. Bev, dan para blogger kenamaan saat ini. Kalaupun sudah mengenalnya, mungkin hanya sayup-sayup belaka. Tapi, berkat kiprah mereka di dunia maya melalui blog, mereka kini dikenal menjadi orang-orang beken di dunia blog Tanah Air. Itu artinya, mereka berhasil membangun merek diri melalui blog. Tinggal pemanfaatan ekuitas mereknya saja akan seperti apa nantinya.

Blog bisa membuat seorang penulis yang “bukan siapa-siapa” menjadi penulis yang bisa “dikenal oleh siapa saja”. Interkoneksi antara blog dengan mesin pencari dan kebutuhan akan data oleh pengguna internet, ternyata telah menciptakan situasi kesalingterhubungan alias saling kenal. Terpaut dengan segala aktivitas maya lainnya, maka situasi itulah yang akhirnya bisa memupuk brand seseorang.

Nah, berangkat dari tujuh keuntungan atau manfaat tersebut, saya kembali mengajak Anda para penulis maupun siapa saja yang sedang belajar menulis, ayo buat blog penulisan. Wadah publikasi tulisan sudah bukan barang langka dan sakral lagi. Semua orang bisa nge-blog dan menjadi “sesuatu” yang berarti karena aktivitas tersebut. Ok, sampai ketemu di dunia blog dan temukan semakin banyak manfaat di sana.[ez]

* Edy Zaqeus adalah penulis buku-buku best-seller, konsultan penulisan & penerbitan, editor Pembelajar.com, dan trainer di Sekolah Penulis Pembelajar (SPP).

Kamis, 02 April 2009

PERAN ORANGTUA DI TENGAH ARUS PERUBAHAN

Dunia mengalami perubahan yang begitu cepat, sehingga mau tak mau setiap orang berlomba untuk memacu diri agar tidak ketinggalan. Dampak dari perubahan dunia ini membawa kepada dua sisi. Sisi positif dan sisi negatif. Dampak positif yang ditimbulkan akibat perubahan yang terjadi di dunia saat ini adalah manusia dapat bergerak ke mana saja dengan mudah hanya tinggal memencet nomor telpon, maka orang yang berada di negara yang jauh sekalipun dapat dijangkau. Kemudian, dapat mengakses informasi dengan cepat dan mudah, hanya tinggal mengklik di depan computer, maka data-data yang diperlukan sudah bisa didapatkan. Berita-berita mengenai perkembangan yang terjadi di benua lain pun dengan mudah didapatkan. Sedangkan dampak negatif dari perubahan dunia yang serba cepat ini adalah moralitas manusia menjadi makin rusak. Dengan modal Rp 3000 saja seorang anak kecil sudah bisa menonton vcd porno atau mengakses situs porno di internet. Kejahatan makin canggih, karena meniru adegan di film-film laga. Dan yang paling mengerikan adalah manusia menjadi kurang atau bahkan tidak lagi menghargai akan keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini.

Dalam upaya mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan dari perubahan dunia ini, maka peranan keluarga tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab keluarga memegang peranan yang sangat penting terhadap maju mundurnya suatu bangsa. Tentunya dalam keluarga peranan yang sangat menentukan adalah peran orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Bila orangtua salah dalam mendidik anak atau membiarkan anak berjalan sendiri tanpa bimbingan, bisa mengakibatkan anak terbawa oleh arus dunia ke arah negatif. Jadi tak dapat diremehkan, karena kesempatan orangtua dalam mendidik anak-anaknya adalah ketika mereka masih bersama-sama dengan kedua orangtuanya. Setelah mereka pisah dengan orangtua, anak-anak bisa berbuat sekehendak hati mereka di luar pengetahuan orangtuanya.

Ada tiga hal yang harus diperhatikan orangtua dalam mengantisipasi anak-anaknya agar tidak terseret ke arah negatif, yaitu:

1. Orangtua harus menjadi teladan bagi anak-anaknya. Bila seorang ayah berkata kepada anak laki-lakinya jangan merokok, tentunya dia sendiri harus memegang kata-katanya untuk tidak merokok. Jika ibu berkata jangan pergi ke diskotik atau night club, tentunya dia sendiri harus memberi contoh terlebih dahulu. Sehingga anak-anak dapat meneladani sikap kedua orangtuanya. Teladan yang baik adalah orangtua harus mengarahkan anak-anaknya untuk mengutamakan Tuhan dalam hidup mereka. Membawa anak-anak untuk hidup takut akan Tuhan dan mengandalkan-Nya. Mengajak anak-anaknya, sambil dia sendiri turut serta, pergi ke gereja untuk beribadah. Bukannya menyuruh anak pergi ke gereja tetapi orangtuanya hanya mengantar saja dan kemudian pulang.

2. Anak harus dibekali dengan firman Tuhan. Anak-anak selagi masih balita harus sudah diajarkan firman Tuhan, sehingga ketika mereka menjadi dewasa mereka sudah dibekali dengan rambu-rambu kebenaran. Orangtua mengajak anak-anaknya untuk melakukan saat teduh setiap pagi. Kebiasaan ini akan terbawa dan menjadi kebiasaan pula bagi anak-anak. Kelak mereka tidak akan lupa untuk bersaat teduh. Bila kebenaran firman Tuhan sudah ditanamkan kepada anak sejak dini, maka orangtua tak perlu kuatir terhadap anak-anaknya. Sekalipun mereka harus berpisah karena studi di luar kota. Anak akan takut apabila melanggar isi firman Tuhan.

3. Orangtua harus senantiasa mendoakan anak-anaknya. Doa sangat penting dan berpengaruh terhadap perkembangan diri anak. Doa tidak bisa dibatasi oleh waktu atau tempat. Meski anak-anak sudah meninggalkan kedua orangtuanya, namun mereka masih tetap terjangkau dengan doa. Dengan seringnya mendoakan anak-anak, maka arah hidup si anak terhindar dari arus pergaulan yang buruk. Anak-anak senantiasa dipelihara dan dijaga oleh Tuhan. Selain itu, doa orangtua membuat apa saja yang dikerjakan si anak berhasil. Karena orangtua adalah wakil Allah di dalam dunia ini.

Semoga ketiga hal ini dapat mengantisipasi anak-anak kita dari arus perubahan dunia yang cenderung menyeret ke arah negatif. Jangan pernah menganggap remeh akan hal ini. Sebab kita sudah melihat bukti, di mana peranan orangtua terhadap anak-anaknya yang terbengkalai. Mengakibatkan anak-anak mereka menjadi pecandu narkoba, pelaku seks bebas, homoseks atau lesbi, terbawa pengajaran sesat, dan sebagainya. Jadi, jangan biarkan anak-anak kita begitu saja terjebak dan terikat olehnya. Kita hanya mempunyai kesempatan satu kali. Waktu kita pun terbatas. Jadi pergunakanlah dengan baik. (Tony Tedjo, M.Th --081394401799 atau penerbitagape@gmail.com)

MAHASISWA DAN TULISANNYA

Budaya menulis menjadi “barang langka” di kalangan masyarakat Indonesia, termasuk di kalangan pendidikan. Menulis merupakan suatu hal mengerikan bagi sebagian orang, sehingga mereka berusaha menjauhi dan menghindarinya.
Mahasiswa sekarang sangat jarang sekali yang memiliki minat untuk menulis. Hal ini tidaklah mengherankan, sebab jangankan untuk menulis, untuk membaca saja sulitnya minta ampun. Orang lebih senang menonton atau mendengarkan, ketimbang harus membaca apalagi menulis. Sehingga tak mengherankan apabila kondisi seperti ini dibiarkan terus-menerus akan membuat bodoh mahasiswa itu sendiri. Sebenarnya, dengan membiasakan diri untuk menulis, secara tidak langsung membantu mahasiswa itu sendiri untuk membiasakan diri juga dalam membaca. Sebagaimana kewajibannya sebagai mahasiswa yang setiap hari berkutat dengan buku. Membaca, membaca dan membaca merupakan kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang mahasiswa.
Mahasiswa, sebagai seorang inteletual, bisa menuangkan hasil yang dia peroleh sehabis membaca dan meneliti ke dalam sebuah tulisan. Sehingga ide-ide dan usulan-usulan yang ada dalam benaknya bisa diketahui banyak orang. Dan bisa berguna bagi ilmu pegetahuan.
Permasalahannya, kebanyakan mahasiswa enggan menuliskannya, sehingga ide-ide orisinil yang seharusnya bisa dikembangkan dan bermanfaat, malah sia-sia terbuang percuma. Ada tiga hal yang dapat merangsang mahasiswa untuk menulis:
Pertama, para dosen memaksa mahasiswa untuk menulis melalui tugas pembuatan paper atau makalah. Karena merupakan salah satu syarat kelulusan, maka mau tidak mau mahasiswa akan menulis. Tentunya sebelum itu dengan membaca berbagai buku dan sumber lainnya terlebih dahulu.
Kedua, mengubah konsep bahwa menulis itu susah dan hanya diperuntukkan bagi mereka yang punya bakat menulis saja. Berikan pandangan bahwa menulis itu mudah, semudah mengungkapkan perasaan hati ke dalam tulisan. Jika demikian, siapapun bisa saja menjadi penulis, asalkan ada kemauan dan kerja keras. Kemauan inilah yang menghantarkan seseorang untuk bisa menjadi penulis yang berbobot dan profesional.
Ketiga, dengan memberikan dorongan berupa reward atau penghargaan. Setiap hasil karya tulis mahasiswa akan dipajang di mading. Bila ada perlombaan menulis, maka setiap mahasiswa didorong untuk mengikuti. Dan bagi mahasiswa yang artikel tulisannya telah dimuat di surat kabar atau berhasil membuat sebuah buku, maka akan diberikan sertifikat dan diumumkan pada pertemuan khusus antara pihak sekolah dan mahasiswa. Selain itu, tulisan yang dimuatpun tentunya akan mendapatkan honor atau royalti.
Dengan adanya rangsangan ini niscara mahasiswa akan tertarik dan tertantang. Sehingga generasi mahasiswa sekarang setingkat lebih maju dengan membiasakan mereka untuk menulis.

Mengapa Pendeta Tidak Suka Menulis


Setiap tanggal 9 Februari kita memperingati Hari Pers Nasional. Kita seharusnya bangga bahwa kita memiliki hari pers nasional. Namun, budaya membaca, terlebih budaya menulis sangat kurang diminati. Kecenderungan orang pada masa kini adalah budaya dengar dan lihat. Apa yang didengar dan apa yang dilihatlah yang biasa diterapkan. Dengan asumsi bahwa mendengar dan melohat (menonton) tidak perlu memeras otak. Asumsi ini didukung pula oleh pandangan sekelompok orang yang memegang prinsip “serba praktis dan instant”. Maksudnya tidak usah cape-cape membaca atau menulis, toh dengan mendengar atau melihat saja kan lebih mudah dimengerti.
Anggapan-anggapan senada juga diajukan tidak hanya di kalangan pelajar atau mahasiswa, di lingkungan gereja pun budaya ini bertumbuh subur. Kita bisa melihatnya berdasarkan dugaan secara umum, bahwa kebanyakan para pendeta lebih senang untuk mengutarakan pesan firman Tuhan melalui kaset atau vcd ketimbang buku. Ada beberapa kemungkinan yang bias dijadikan alasan.
Pertama, tidak ada waktu. Jadual pelayanan yang padat, kurangnya waktu untuk mencatat, sibuknya melayani orang sakit, banyaknya jemaat yang mau dibaptiskan, padatnya acara kebaktian dan kesibukan membimbing jemaat yang akan menikah, menjadi alasan yang masuk akal mengapa para pendeta tidak ada waktu untuk menulis.
Kedua, tidak terbiasa. Kebiasaan seseorang sangat mempengaruhi kehidupannya. Ada banyak pendeta yang setiap kali berkhotbah tidak membuat kerangka khotbah yang akan dikhotbahkan terlebih dahulu. Mereka sudah terbiasa membawakan firman Tuhan secara langsung. Istilahnya, mengalir apa maunya Roh Kudus. Ini memang benar, namun sangat disayangkan bila bahan khotbah yang hendak disampaikan itu tidak didokumentasikan ke dalam bentuk tulisan. Bahan-bahan khotbah yang sudah dituliskan tersebut kan bisa dikumpulkan dan dibukukan, sehingga lebih efektif dan efisien untuk membina pertumbuhan jemaat.
Ketiga, tidak bisa. Memang, sebagian orang berpendapat bahwa menulis itu diperlukan suatu bakat khusus atau paling tidak harus belajar dahulu bagaimana untuk menulis. Namun sebenarnya, bila ada kemauan orang yang tadinya tidak bisa akan menjadi bias, bila sudah mencobanya berulangkali. Sama halnya dengan seorang anak kecil berusia empat tahun yang sedang belajar mengendarai sepeda. Bukankah tidak diperlukan bakat khusus untuk bisa mengendarai sepeda? Cukup dengan ketekunan untuk tidak cepat menyerah, maka akhirnya dia bias mengendarai sepeda dengan baik. Demikian pula dengan menulis. Tekun dan giat berlatih akan mengasah ketrampilan untuk menulis sehingga mahir.
Empat, honornya kecil. Sebagian orang berpendapat bahwa bila menulis di suatu majalah atau membuat suatu buku itu tidak dihargai. Honornya kecil dan tidak sebanding dengan waktu yang dikeluarkan. Itulah sebabnya, banyak orang yang enggan untuk menulis. Lebih cenderung untuk memilih secara lisan saja.
Lima, malas. Sifat malas menjadi alasan terakhir mengapa mereka tidak mau menulis. Malas menuangkan kata-kata ke dalam bentuk tulisan. Malas mengetik. Masal akalu tulisannya dianggap jelek. Malas memperbaiki kembali bila ada tulisan yang salah. Kemalasan merupapan alasan klasik yang tidk bisa dipungkiri lagi.

Solusi
Menulis itu penting, apapun alaannya menulis tetap harus dikembangkan. Pendeta pun jangan mau ketinggalan dengan jemaatnya. Pendeta pun jangan mau ketinggalan budaya menulis bagi kemuliaan nama Tuhan Yesus Kristus. Jangan sia-sia firman Tuhan yang sudah ditaburkan, tampunglah dengan tulisan menjadi sebuah buku.
(Karya Tony Tedjo, artikel ini telah dimuat pada Majalah BAHANA edisi Februari 2004. Tony Tedjo adalah pendiri dan ketua Komunitas Penulis Rohani /KPR; ketua dan pendiri Sekolah Menulis Alkitabiah /SOW; dan owner penerbit AGAPE)

INDAHNYA SEBUAH PERUBAHAN


Perubahan selalu diawali dengan proses. Tanpa adanya proses tidak mungkin terjadi perubahan. Dalam sebuah proses terjadi pembentukan. Dibentuk untuk menjadi sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Seperti halnya seekor ulat yang hendak berubah menjadi kupu-kupu. Dia harus menjalani suatu rangkaian proses yang berhari-hari, sebelum pada akhirnya menjadi seekor kupu-kupu yang indah. Dalam menjalani masa transisi dari seekor ulat menjadi kupu-kupu, ulat harus menjadi kepongpong terlebih dahulu. Sewaktu menjadi kepongpong, si ulat harus tinggal dalam kesunyian dan tidak bisa melihat indahnya dunia untuk sementara waktu sampai saat yang tepat. Diperlukan kesabaran dan ketekunan agar bisa mencapai waktu yang tepat. Bila seekor ulat tidak sabar untuk cepat-cepat membuka kepongpongnya, maka tidak akan terjadi perubahan apa-apa dalam dirinya. Sebab pada waktu dia merobek kepongpong yang menutupi dirinya sebelum waktu yang ditentukan, bersamaan dengan itu pula cairan dalam dirinya akan terbuang keluar. Padahal dari cairan inilah bisa tumbuh dalam diri ulat sebuah sayap, yang mengubah penampilannya menjadi seekor kupu-kupu.
Kehidupan manusia pun mengalami perubahan. Dari keadaan bayi menjadi seorang anak. Kemudian menjadi dewasa. Dalam perubahan ini terjadi sebuah proses. Dari tidak bisa berjalan dan tidak bisa berbicara hiingga bisa berlari dan berbicara.
Yeremia 18:1-6 mengisahkan tentang pekerjaan tukang periuk. Tanah liat harus mau dibentuk menjadi sebuah benda menurut kemauan si tukang. Bila tukang periuk hendak menjadikan tanah liat yang ada ditangannya menjadi sebuah guci, maka mau tidak mau dia harus mau. Dan bila sudah menjadi sebuah guci, namun dirasa masih kurang baik, si tukang bisa saja mengerjakannya kembali menjadi bejalan lain menurut apa yang baik pada pemandangannya. Ada proses yang harus dialami oleh tanah liat sebelum menjadi sebuah guci dengan ukiran yang indah.
Belajar dari tukang periuk dan tanah liat di atas, ada hal yang bisa kita simak: Pertama, ketaatan. Kehidupan kita seperti tanah liat di tangan Tuhan. Kita harus menerima prosesnya Tuhan tanpa bersikap memberontak. Sebab memberontak berarti semakin memperlambat proses perubahan. Satu hal yang pasti bahwa perubahan yang diharapkan Tuhan adalah perubahan ke arah yang lebih baik dan lebih berharga. Menjadi hidup yang lebih bernilai.
Kedua, kesetiaan. Untuk berubah dituntut kesetiaan. Setia untuk menanti sampai waktunya tiba. Jangan tergesa-gesa mengambil caranya sendiri untuk perubahan atas diri kita. Tunggulah sampai waktunya Tuhan tiba. Sebab waktu Tuhan itu indah (Pengkhotbah 3:11).
Ketiga, keseriusan. Setelah berubah, jangan mau menjadi seperti keadaan yang dulu lagi. Harus serius, bahwa keadaan sekarang sudah berubah. Hidup kita sudah berubah dari hamba dosa menjadi hamba kebenaran. Menjadi ciptaan yang baru di dalam Tuhan (II Korintus 5:17) dan hidup menjauhi dosa.
Satu hal yang dituntut oleh kita apabila kita menghendaki perubahan, apakah sudah siap untuk menerima perubahan itu sendiri? Bersiap-siaplah, Tuhan akan mengubah kehidupan kita, menjadi kehidupan yang lebih mulia. Kehidupan yang berlimpah di dalam anugerah dan berkat Allah. (Tony Tedjo, M.Th. Ketua Sekolah Menulis Alkitabiah dan Ketua Komunitas Penulis Rohani, bisa dihubungi di 081394401799 atau 08888255416)