Sewaktu saya kuliah di sekolah literatur, dosen saya berkata demikian: “Jangan harap bias menjadi kaya bila menjadi seorang penulis.” Ucapan tersebut diucapkan oleh seorang sastrawan national yang sudah menghasilkan puluhan buku dan ribuan artikel sastra maupun rohani. Waktu itu saya hanya percaya saja terhadap perkataannya.
Seorang dosen saya yang lain, waktu dia merantau dari Surabaya ke Jakarta hanya membawa baju sepasang dan sebuah mesin ketik. Namun dia dapat bertahan hidup di kota besar, bahkan bias melanjutkan kuliah jurusan jurnalistik. Semua ia peroleh dari hasil menulis di surat kabar. Setiap kali ada berita hangat, dia menuliskan sebuah artikel dengan mesin tiknya, dan mengirimkannya ke redaksi surat kabar. Alhasil, banyak tulisannya yang dimuat. Honor hasil menulis inilah yang menghidupi dirinya dan memperoleh gelar sarjana.
Seorang dosen teologia yang juga menjadi penulis buku, bisa berganti-ganti mobil karena hasil dari royalty yang dia peroleh dari buku-buku karyanya yang laris terjual di pasaran. Bayangkan, buku yang dia tuliskan setebal 350 halaman lebih, dengan harga perbukunya mencapai Rp250.000. Ke mana saja dia mengajar di sekolah teologi, dia selalu menawarkan kepada mahasiswa yang diajar olehnya untuk membeli karyanya sebagai buku wajib. Bila jumlah mahasiswa yang diajar olehnya ada 2000 orang, maka sudah pasti sekitar 2000 bukunya terjual.
Tiga cerita di atas menggambarkan pandangan seberapa besar keuntungannya bila menjadi penulis. Ada yang beranggapan hanya ala kadarnya saja, tapi ada juga orang yang menganggapnya sebagai suatu penghasilan menguntungkan.
Ketika mengajar di kelas SOW saya menegaskan kepada murid-murid SOW (Sekolah Menulis Alkitabiah) kami bahwa “Menulis Bisa Menjadi Kaya.” Seorang penulis sebenarnya bukanlah seorang pengangguran, karena dia juga bekerja dan mengasilkan uang. Bahkan penghasilannya bisa jauh lebih banyak dibandingkan seorang staf. Penulis bisa menjadi kaya-raya, seperti Rick Warren dengan buku The Purpose Drivern Live atau JK. Rowling dengan buku Harry Potter-nya. Yang terakhir ini, malah kekayaannya melebihi Kahayan Ratu Elisabeth II dari Inggris.
Ada tiga alasan bahwa penulis bias menjadi kaya, yaitu:
Pertama, seorang penulis yang rajin menulis artikel dan mengirimkannya ke berbagai media massa, maka suatu saat nanti tulisan tersebut akan diterbitkan. Setiap tulisan yang diterbitkan akan mendapatkan honor. Bila tulisan yang dikirimkan dan diterbitkan lebih dari 5 media massa tiap minggu, maka dalam sebulan ada 20 tulisan yang dimuat. Bila dikalikan dengan honor pertulisan, minimal 20 x Rp100.000 = Rp2.000.000/bulan.
Kedua, setiap tulisan yang sudah dipublikasikan di media massa kemudian kita kumpulkan dan kelompokkan dalam suatu topik yang sama. Setiap 40-50 artikel ini kemudian kita kirimkan ke redaksi penerbit buku, untuk diterbitkan menjadi sebuah buku. Bila sudah diterbitkan, maka kita akan mendapat royalty. Misalnya: Royalti 10% x Rp30.000 x 3000 = Rp9000.000. Itu dari satu buku yang diterbitkan. Bila ada 5 buku, maka tambahan pemasukan keuangan dalam sebulan dapat bertambah Rp9.000.000.
Ketiga, karena meningkatnya brand image orang terhadap diri kita, mengakibatkan meningkat pula nilai jualnya. Bila kita diundang menjadi pembicara seminar atau acara workshop, maka pemasukan pun bertambah. Seandainya dalam sebulan kita diundang minimal 3 kali sebulan saja, dengan besarnya tiap undangan Rp400.000-1.000.000, maka jika 3 kali = Rp1.200.000-Rp3.000.000.
Dari tiga hal di atas, dapat memprediksi berapa banyak uang yang didapat apabila kita menjadi seorang penulis yang produktif. Bukankah kalau dihitung dari besarnya penghasilan yang didapat perbulan jauh lebih banyak dibandingkan seorang pegawai kantor? (Tony Tedjo penulis 6 buku laris dan Ketua SOW; bisa dihubungi di 081394401799)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar