Kisah dalam Yohanes 21:1-14 mengisahkan kehidupan para murid Yesus setelah kematian-Nya. Petrus dan beberapa murid lainnya kembali kepada kehidupan lamanya sebagai penjala ikan, padahal mereka sudah diangkat oleh Yesus menjadi penjala manusia. Hal ini dikarenakan para murid kehilangan harapan, sebab Guru mereka yang dianggap sebagai Mesias telah mati. Sehingga para murid kehilangan arah hidup.
Tanpa berpikir panjang lagi, Petrus dan teman-temannya kembali kepada pekerjaan awal mereka sebagai nelayan. Seperti umumnya para nelayan, merekapun bersepakat untuk melaut malam itu. Tetapi rupanya malam itu mereka sedang apes, tidak seekor ikan pun yang mereka tangkap. Akhirnya diputuskan untuk kembali ke tepi pantai. Setibanya di tepi, mereka berjumpa dengan Yesus. Sayangnya para murid ini tidak mengenali Yesus lagi. Yesus menyuruh agar mereka menebarkan jala kembali, tapi kali ini tidak di tengah laut, melainkan di sekitar tepi. Hal ini tidak lazim dilakukan para nelayan. Namun, apa salahnya mereka mencobanya. Dan ternyata, mukjizat terjadi. Mereka menangkap 153 ekor ikan besar, tapi jala mereka tidak koyak. Di sinilah para murid mengenali bahwa orang yang berada di hadapan mereka adalah Yesus.
Mengapa para murid tidak bisa mengenali suara Yesus? Ada tiga hal mengapa seringkali kita, termasuk para murid, tidak bisa mendengar suara Yesus: Pertama, dikuasai oleh ketakutan. Orang yang dikuasai ketakutan ini digambarkan seperti seorang pendaki gunung berikut. Telah berjam-jam seorang pendaki gunung tersesat di jalan. Dia terperosok ke dalam sebuah jurang. Untunglah dia sempat berpegangan pada seutas akar pohon. Karena takutnya dia berkata kepada Tuhan. ”Tuhan, tolong saya, apa yang harus saya lakukan?” Tuhan menjawab, ”lepaskan saja peganganmu.” ”Tidak Tuhan, nanti kalau dilepaskan saya bisa mati. Saya belum mau mati.” ”Lepaskan saja, percayalah kepada-Ku.” Pendaki ini tidak mempercayai suara Tuhan. Dia tetap berpegangan pada akar pohon hingga pagi hari. Setelah keadaan sekitarnya terlihat dengan jelas, ternyata jarak antara kaki dengan tanah di bawahnya hanya sekitar 1 meter. Seandainya saja pendaki ini menuruti suara Tuhan sejak awal, tentunya dia tidak usah berjam-jam bergantungan pada akar pohon.
Para murid tidak bisa mengenali suara Yesus dengan baik karena diliputi oleh perasaan takut yang mencekam, disebabkan ancaman para ahli Taurat dan orang Farisi yang mengancam untuk memenjarakan para pengikut Yesus.
Seringkali kita juga tidak bisa mendengar suara Yesus dengan baik, karena kita terlalu diliputi oleh perasaan takut. Sehingga ketakutan ini mengalahkan suara-Nya yang senantiasa memberikan penghiburan dan keberanian. Padahal Tuhan tidak pernah memberikan roh ketakutan. ”Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan keberanian” (II Timotius 1:7). Oleh karenanya, usirkan ketakutan itu, dan dengarkanlah suara-Nya yang lembut itu.
Kedua, orang terkadang tidak bisa mendengar suara Tuhan karena terlalu disibukkan dengan kebisingan dunia dan kesibukan pekerjaan. Sehingga suara Tuhan yang lembut nyaris tak terdengar atau diabaikan begitu saja. Petrus dan teman-temannya disibukkan dengan pekerjaannya sebagai nelayan. Yang ada di benak pikiran mereka hanya bagaimana caranya agar bisa menangkap ikan sebanyak mungkin untuk dijual dan mendapatkan uang yang banyak. Sehingga mereka tidak lagi mengenali suara Yesus. Padahal para murid tersebut sudah mengikut Yesus sekitar 3 setengah tahun. Pagi, siang, sore, dan malam hari selalu bersama. Tetapi masih saja mereka tidak mengenali Yesus.
Seorang mandor di pabrik tekstil kehilangan arloji kesayangannya. Dia sudah berusaha mencari ke sana ke mari namun belum bisa menemukannya. Beberapa temannya juga membantu, namun hasilnya nihil. Suara mesin dan suara orang berbicara lebih keras dibandingkan suara detak jam. Ketika saatnya jam istirahat, semua pekerja beristirahat untuk makan. Semua mesin pun dimatikan. Sehingga keadaan di ruangan tersebut sunyi. Seorang pekerja dengan sengaja tetap berada di ruangan tersebut. Dia mulai membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengarkan bunyi suara jam. Setelah beberapa menit, akhirnya pekerja ini bisa mendengar dengan jelas suara jam, dengan segera dia bisa menemukan arloji yang hilang.
Ketiga, tidak lagi memiliki hubungan intim dengan-Nya. Hubungan intim ini bisa diperoleh dengan cara mempunyai waktu khusus untuk berdoa. Berdoa berarti berkomunikasi dengan Tuhan, mengungkapkan isi hati kita dan mendengarkan kehendak-Nya dalam diri kita. Membaca firman Allah secara rutin pun bisa mempertajam kepekaan kita dalam mendengar suara Tuhan. Selain itu, hal yang tidak kalah penting adalah dengan bersaksi mengenai kebaikan Tuhan kepada orang lain. Tuhan akan memakai kita dengan menaruh perkataan-perkataan-Nya untuk disampaikan kepada orang-orang yang ditemui.
Seorang sahabat yang sudah sepuluh tahun tidak pernah bertemu, tentunya tidak begitu mengenali lagi kepada sahabatnya itu. Bila dulu dia bisa mengetahui kehadirannya hanya dari batuknya, maka setelah lama tidak bertemu dia lupa. Agar bisa mengenal suaranya kembali, tentunya dia harus menjalin hubungan yang lebih dekat lagi dan secara rutin.
Suara Tuhan itu memberikan penghiburan, kekuatan, dan membangkitkan semangat kembali. Bila sedang menghadapi pergumulan berat, ketika mendengar suara-Nya, kita menjadi tenang. Beroleh semangat kembali. Mendapat kekuatan baru untuk maju menjalani kehidupan dan melayani Dia.
* Tony Tedjo pendiri dan ketua SOW, konsultan penerbitan, pengajar, penulis buku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar